Jumat, 19 Desember 2014

Dalam Pendidikan Musik, Kurikulum Majemuk Adalah Sebuah Keharusan

image
     Isu kurikulum majemuk (baca: tidak tunggal) dilontakarkan oleh guru besar ITB yang sekarang menjadi atase pendidikan Indonesia untuk New Delhi, Iwan Pranoto. Menyoroti Amerika, China, dan India, Iwan yang selalu mempromosikan "penalaran dalam matematika" berpendapat Indonesia pun perlu memiliki kurikulum yang majemuk.
     Begitu bhinekanya Indonesia dengan ribuan pulau dan ratusan bahasa daerah yang aktif tidak mudah untuk distandarisasi. Bahkan penyeragaman akan membuat anak-anak didik kehilangan makna belajar karena tidak berakar dengan lingkungannya.  
     Sebagai contoh, seorang anak yang tinggal di desa penghasil kayu jati, dia tidak menyadari bahwa lingkungannya adalah lingkungan yang kaya akan kayu yang langka, karena dia tidak mendapatkan pelajaran itu di sekolah. Mungkin dia akan lebih tahu Jakarta, Surabaya, Semarang, atau Solo tapi tidak pernah mengenali desanya. Bayangkan yang di Papua, Pelosok Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya!
     Dalam lingkup yang lebih kecil, pendidikan musik di Indonesia belum mendapat prioritas yang cukup di sekolah-sekolah umum. Akibatnya, les-lesan menjadi tempat tujuan utama orang tua untuk anak-anak mendapat pendidikan musik. Disinilah masalahnya menjadi rumit. Yang dikehendaki orang tua adalah anak-anaknya "bisa main musik", asalkan anaknya terlihat pintar mainkan piano, gitar, drum, gitar, bagi orang tua itu sudah cukup. Tidak penting kurikulumnya apa, dan bagaimana caranya mengajar. Yang penting bisa.
     Akibatnya, tidak sedikit orang tua yang menyesal telah menginventasikan uang yang cukup banyak tapi untuk membuat lagu sederhana seperti si Semut, pianis lulusan grade tertinggi pun tidak bisa. Kebalikannya, improvisasi yang indah-indah, aransemen yang luar biasa, ternyata membaca not balik yang sederhana saja tidak bisa.  
     Terlihat sekali carut marut pendidikan musik itu sendiri. Tekanan dari industri memperburuk keadaan ini. Industri yang selalu mencoba mempabrikan segalanya membuat standar-standar untuk bermain musik yang serba instan. Menghafal lagu adalah cara yang paling laris dipakai di industri pendidikan musik. Dengan "hanya" menghafal lagu yang semakin rumit setiap grade/ tingkatnya orang tua-orang tua sedikit banyak dibodohi karena merasa anaknya jadi jago main musik.
     Lebih parahnya lagi, standar-standar itu pun harus melihat dari "orang barat". Akhirnya musik-musik di lingkungan setempat seperti dangdut, campur sari, keroncong, bahkan sesederhana pop Indonesia tersisih dengan "Let it Go", dan lagu-lagunya Mozart, Bethoven, dan sebagainya. Bagaimana dengan Gombloh, Koes Plus, Rinto Harahap, apakah mereka tidak bisa menjadi standar di bangsa sendiri?
     Dengan adanya pendekatan kurikulum majemuk, pendidikan musik akan semakin kaya pendekatan untuk membuat seorang anak menjadi lebih kreatif (baca: bukan hanya bisa memainkan alat musik). Seperti kata Anies Baswedan, yang paling penting adalah membuat anak didik kita ketagihan belajar. Dalam musik pun anak-anak harus diajar sehingga mereka akhirnya ketagihan musik. Ketagihan mendengar, ketagihan main, ketagihan nyanyi, ketagihan tulis lagu, dan sebagainya.
     Kita semua berharap dihentikannya kurikulum 2013 untuk masuk bengkel lagi akan menjadi momentum kebangkitan pendidikan Indonesia. Mimpi bersama kita, kita akan melihat Mozart Indonesia, Stevie Wonder Indonesia, bukan K-POP tapi I-POP, bukan lagi hollywood atau bollywood, tapi indoowood! Belum lagi Jack Ma Indonesia, Steve Job Indonesia, Bill Gates Indonesia. Kita memiliki kesempatan itu, asalkan kita mendidik anak-anak kita sesuai dengan kodrat mereka masing-masing. Jangan diseragamkan!
Ditulis oleh:
Hanny Setiawan, MBA
Music Curriculum Developer
  • Sumber Referensi


***

0 komentar:

Posting Komentar